Diary of M

By: Alexa Ihdina Laudya Nadindra (XI IPS 1)

 

“Tolong simpan diary ini ya,” Medeleine melihat wajah Medeia dengan kebingungan. Tidak biasanya teman nya ini memasang ekspresi gugup seperti ini. Mukanya pucat pasi dan seperti orang ketakutan.

 “Bila ada orang yang meminta buku ini tolong jangan berikan buku ini. Bahkan bila ada yang mengatas namakan aku untuk meminta di kembalikan buku ini. Jangan kasih okey?”Medeleine mengangguk. Medeia pun tersenyum dan meninggalkan rumah Stella dengan tersenyum sambil melambai.

 “Sampai jumpa,” Gumam Medeia. Sembari berjalan keluar dari pekarangan rumah Medeleine sebelum dia bisa menjawab perkataan Medeia.

 

 Medeleine terbangun mendengar suara sirene yang bersumber dari luar rumahnya.

 “Apa sih, kenapa ramai sekali,” Gumam Medeleine. Dia berdiri dan mendekatkan dirinya ke jendela dan mengintip. Di sana dia bisa  melihat orang tua Medeia menangis, lalu ada ambulan dan tiga mobil polisi. Medeleine yang melihat itu pun langsung turun ke bawah dan keluar dari rumahnya dan berlari menuju ke orang tua Medeia, tetapi ditahan oleh seseorang.

 “Lebih baik kau jangan mengajaknya mengobrol terlebih dahulu,” Isaac, teman sekolahnya sekaligus pacar Medeia itu berbisik ditelinganya.

 “M-Memangnya kenapa? Ada apa? Apa Medeia baik-baik saja?” Medeleine tiba-tiba merasa takut, kenapa orang tua Medeia menangis, kenapa ada mobil ambulan di depan rumah Medeia dan beberapa mobil polisi? Sebenarnya ada apa? Banyak sekali pertanyaan di kepalanya yang meminta penjelasan.

 “Aku mohon dengan sangat, tenangkan dirimu dulu, okay? Aku akan mengatakan apa yang terjadi bila kau tenang terlebih dahulu,” pinta Isaac. Medeleine mengangguk, berusaha menenangkan dirinya.

 “Tolong minggir-minggir!” Teriak seseorang yang sepertinya dia adalah petugas Kesehatan yang sedang mendorong tandu dengan tiga orang lainnya yang di mana di atas tandu itu ada sebuah plastik hitam yang sering dia lihat di sebuah film pembunuhan. Entah kenapa setelah melihat itu jantung nya langsung berdebar kencang.

 

“Isaac, jangan bilang Meddie-“

“Medeia ditemukan bersimbah darah, orang tua nya baru saja menemukan nya saat mereka baru pulang dari makan malam berdua sebagai perayaan hari jadi mereka yang ke tujuh belas.”

 Medeleine diam terpaku. Padahal baru beberapa jam yang lalu Medeia datang ke dia untuk menitipkan buku diary nya tapi dia sudah tidak ada beberapa jam kemudian? Tidak masuk akal. Isaac menepuk Pundak Medeleine setelah melihat wajah Medeleine pucat dan memancarkan kesedihan.

 

Malam itu Medeleine tidak habis pikir, gadis seperti Medeia yang baik, asik, dan menyenangkan itu meninggal tragis seperti ini. Medeia juga tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun dan dia selalu mengalah. Lantas kenapa dia meninggal seperti ini, kenapa dia harus meninggal seperti ini dan bukan meninggal dengan terhormat? Apa salah Medeia hingga dia harus meninggal seperti ini. Semua itu berputar di kepalanya semalam suntuk, dia tidak  bisa tidur, menangisi kepergian sahabatnya yang sudah seumur hidup selalu bersamanya. Dia sudah seperti teman, sahabat, dan keluarganya. Medeia juga hanya satu-satunya teman yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, dia adalah “rumah” bagi seorang Medeleine.

 

Saat acara berkabung di rumah Medeia, semua orang mengasihani Medeleine. Banyak sekali orang yang tahu bagaimana dekatnya mereka berdua, tanpa Medeia tidak ada Medeleine dan begitu sebaliknya. Hubungan ikatan Medeia dan Medeleine sangat, jadi tidak heran saat mereka melihat wajah Medeleine yang sebab itu mereka hanya berusaha diam.

 “Medeleine yang tabah ya,” kata ibunya, sambil mengelus punggung Medeleine. Ibu Medeleine sudah tahu bagaimana ikatan mereka berdua juga ikut merasa kehilangan.

 Medeleine hanya mengangguk pasrah. Setelah acara pemakaman Medeia pun dia juga menangis lagi, di bawah selimut sambil memeluk foto mereka berdua yang mereka ambil setelah pentas drama Medeia yang dimana dia menjadi seorang putri jahat yang nanti akan berubah menjadi baik diakhir cerita. Saat itu mereka berpose dua jari dan tersenyum lebar, sambil Medeia menggunakan gaun warna hitam dan dia menggunakan blouse dan celana jeans. Dia ingat hari itu Medeia sangat Bahagia, dia tidak henti-henti nya melihat Medeia tertawa. tanpa sadar dia pun terlelap.

 Tapi, semuanya harus berlalu, beberapa minggu kemudian semua orang sudah melupakan kematian Medeia. Tapi tidak dengan Medeleine, dia masih sering menangis bila sesuatu mengingatkan dia tentang Medeia. Semua teman nya berusaha menemani Medeleine, karena takut-takut bila terjadi sesuatu. Sebenarnya Medeleine dan Medeia memiliki grup yang sering bersama dengan mereka. Diana dan Agatha, dan mereka mengerti bagaimana dekatnya Medeia dan Medeleine yang membuat mereka memaklumi kondisi Medeleine sekarang.

 

“Medeleine, Meddie juga tidak mau kalau kamu terpuruk seperti ini. Jangan berlarut-larut, ya?” Kata Diana sambil duduk disamping Medeleine dikasur. Hari ini seperti biasa diana dan Agatha menemani Medeleine, mereka akan menginap untuk menemani Medeleine. Karena kebetulan besok adalah hari libur, jadi mereka bisa menginap dan menemani Medeleine.

 “Iya Medeleine, sudah ya? Ayo makan dulu,” Ajak Agatha sambil meminta Medeleine membuka mulutnya. Kondisinya memang separah itu, sejak hari itu Medeleine tidak mau makan atau pun mandi. Kadang ibunya memandikan dia atau menyuapkan nya makanan agar setidaknya sedikit nutrisi masuk ke badan Medeleine. Tapi keadaan Medeleine sudah mulai membaik setelah Diana dan Agatha datang membantu. Sedikit demi sedikit Medeleine sudah mulai berbenah diri, tapi terkadang ya seperti ini Medeleine. Dia kambuh dan kembali menangisi kepergian sahabatnya itu.

 

Malam harinya mereka bertiga bersantai di kamar, Medeleine sudah tidak menangis lagi dan dia sedang membaca buku di kasur sambil bersender begitu juga dengan Agatha, sedangkan Diana sedang mengerjakan tugas di meja belajar Medeleine.

 Medeleine melihat kedua teman nya itu dengan bergantian, Medeleine sangat berterima kasih atas perhatian mereka berdua karena mau menemaninya hingga mulai kembali sedikit demi sedikit. Mereka tahu bahwa Medeleine suka bila seseorang ada di sekitarnya walau mereka melakukan sesuatu, tapi dia tetap merasa senang dan tidak kesepian lagi.

 “Omong-omong apakah pembunuh Medeia sudah ditemukan?” Tanya Medeleine yang mendapatkan balasan lirikan dari Diana dan Agatha. Bukan tanpa sebab mereka berdua milirik, mereka pikir bahwa topik ini sensitif untuknya tapi melihat Medeleine bertanya tanpa menangis hal itu sudah menjadi progres bahwa Medeleine sudah tidak terlarut-larut sedihnya itu.

 “Ehm.. kami kurang tahu sih, tapi yang ku dengar rumornya adalah salah satu anak di sekolah kita,” Jawab Agatha yang dibalas Diana mengangguk. Sudah lebih dari dua minggu Medeleine tidak masuk, tentu saja dia tidak tahu apa saja yang terjadi di sekolah. Sebenarnya rumor itu muncul karena tidak jarang banyak anak membicarakan siapa yang membunuh Medeia dan kasus tentang Jaeden, yang dibunuh dengan cara yang sama juga.

 

“Tapi kalau dipikir-pikir iya juga sih, siapa tahu anak sekolah kita.” Diana berbicara sambil meninggalkan laptopnya dan duduk di kasur Medeleine.

 “Maksudku kalaupun orang lain pasti mereka akan mencuri suatu barang atau apa pun, secara orang tua Medeia suka mengoleksi benda antik. Tapi tidak ada benda yang hilang saat adanya pengecekan. Hanya ponsel Medeia saja yang masih tidak ditemukan sampai sekarang. Pasti bukan pencuri yang tidak sengaja membunuh, tapi ada urusan pribadi di sini. Karena dia mengincar Meddie saja, bukan hartanya berarti ada urusan pribadi bukan?” lanjut Diana yang disambut tepuk tangan dari Agatha yang mendengar penjelasan Diana.

 “Gila, bagaimana kau bisa memikirkan hal seperti itu?” Tanya Agatha kagum.

“Apalagi kalau bukan karena menonton Sherlock Holmes,” Agatha memasang wajah mencibir yang dibalas tawa oleh Diana dan Medeleine.

“Bukan nya belajar malah nonton Sherlock. Tapi tidak papa, untuk sekali ini kau keren,” Jawab Agatha sambil tepuk tangan lagi.

 Sedangkan Medeleine terdiam lagi, memikirkan ucapan Diana barusan. Sepertinya dia harus masuk ke sekolah untuk megetahui siapa yang menyebarkan rumor. Seninnya Medeleine siap-siap untuk kesekolah, ibunya menyiapkan bekal makanan sedari pagi untuk dimakan saat jam istirahat.

 “Hati-hati ya, jangan melamun, dimakan bekalnya,” Medeleine mengangguk dan melambaikan tangannya.

“Aku pulang,” Medeleine melepaskan sepatunya. Melihat sekitar bahwa dia sendirian, pasti ibunya sudah berangkat ke kantor. Medeleine pun menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sesampainya dikamar dia meletakkan tasnya di meja belajar dan berbaring di kasur.

 Saat di sekolah tadi hari berjalan seperti biasa, ada beberapa yang mengucap belasungkawa. Lalu semua berjalan seperti biasa, tidak ada yang berubah. Saat disekolah tadi juga banyak sekali yang menyemangati dirinya untuk tetap tabah atas kematian Medeia. Selain itu tidak ada yang berubah, dunia tetap berjalan seperti seharusnya. Apa mungkin saat dia tiada apakah dunia seperti itu juga? Dan dia juga tidak sempat mencari siapa yang menyebarkan rumor karena banyak nya tugas yang harus dia kerjakan.

 Sore itu Medeleine tertidur dan terbangun sekitar pukul sepuluh malam karena suara ponselnya yang sedari tadi tidak berhenti.  

 

“Ada apa sih” Gumam nya kesal. Dia cepat-cepat mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya, tapi di situ hanya terlihat angka-angka saja karena sepertinya ini bukan nomor yang dia kenal.

 “Hallo?”

“Medeleine?” Medeleine berpikir, suara yang terdengar dari seberang adalah suara laki-laki tapi entah kenapa terasa familiar.

“Siapa ini?”

“Isaac, sepertinya kau belum menyimpan nomer ku,” Tawanya dari seberang. Tentu saja dia tidak menyimpan nya karena dia tidak pernah meminta nomor Isaac. Apalagi dia baru tahu Isaac berpacaran dengan Medeia baru-baru saja.

“Ya sepertinya, omong-omong ada apa?” Jawab Medeleine cuek. Setelah Medeline bertanya Seketika di seberang sana hening, tapi Medeleine bisa mendengar hembusan napas.

“Hallo?”

“A-A ya! Oh iya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu.”

“Ya?”

“Apakah Medeia menitipkan suatu barang kepadamu?” Entah kenapa perasaan Medeleine tidak enak.

“Barang seperti apa? Dia selalu menitipkan barang yang banyak sejak dulu,” Jawab Medeleine sambil tertawa.

“Ehm, sebuah buku?”

‘Buku yang Meddie titipkan? Diarynya?’ Batin Medeleine.

“Ah, tidak ada kok. Dia tidak pernah menitipkan buku apa pun dia terlalu sayang pada buku-bukunya. Bukunya itu seperti bayi-bayinya,” Kekeh Medeleine.

 “Memang nya ada apa?” Lanjutnya.

“Ah tidak ada apa-apa, baiklah kalau begitu. Maaf menggangu waktumu Medeleine, sampai jumpa.”

Belum sempat Medeleine mengatakan sesuatu. Telepon itu langsung mati yang membuat Medeleine terheran-heran.

“Aneh,” Gumamnya.

 

Dilain tempat…

 “Ah tidak ada apa-apa, baiklah kalau begitu. Maaf menggangu waktumu Medeleine, sampai jumpa,” Di seberang sana Isaac menutup teleponnya dengan kesal.

“Sial, di mana kau simpan buku itu,” Teriak Isaac. Sambil melempar ponselnya ke ranjangnya.

“Tidak bisa ku biarkan,” Decaknya. Dia harus tahu di mana posisi diary yang Medeia simpan atau tidak semuanya akan kacau.

 “Sial,” Keluhnya sekali lagi.

 

___________________________________________________________________________

 

 

Entah kenapa setelah telepon dari Isaac kemarin perasaan Medeleine semakin tidak enak. Apalagi mengingat pesan Medeia sebelum dia meninggalkan buku diary nya.

 

“Bila ada orang yang meminta buku ini tolong jangan kasih tahu kepada siapa pun. Bahkan bila ada yang mengatas namakan aku untuk meminta di kembalikan buku ini. Jangan kasih oke?”

 “Med, Medeleine?” Panggil Diana yang mebuat Medeleine terkejut. Diana dan Agatha tertawa.

 “Kau ini, jangan suka melamun. Ayo keluarkan kotak bekalmu, dari tadi sudah waktunya istirahat loh,” Kata Agatha.

 “Hah?” Medeleine melihat sekitarnya, disana hanya mereka bertiga dan satu anak laki-laki yang sedang mengerjakan sesuatu, mungkin tugas.

 “Mangkanya jangan suka melamun, selamat makan.”

 Diana memakan bekalnya yang sudah dia buka sedari tadi. Medeleine dan Agatha pun ikut makan. Mereka berbincang-bincang hingga terbesit tentang telepon dari Isaac kemarin malam.

 

Dia sebenarnya tahu siapa Isaac, mungkin lebih tepatnya siapa yang tidak tahu Isaac. Ya, dia seperti tipikal tokoh utama laki-laki di novel yang sering dibaca Medeia. Tampan, pintar dan sopan. Selalu menjadi bintang kelas, dan berbakat dalam bermain gitar. Saat hari di mana Medeia mengatakan dia jadian dengan Isaac, sebenarnya kejadian itu sedikit mengejutkan. Medeia terlihat terpaksa daripada berbahagia. Tepatnya pada saat itu Medeleine bosan di rumah, bila dia bosan hal yang sering dilakukan adalah mengunjungi Medeia. Kebetulan Medeia mengatakan bahwa dia sedang sibuk belajar, alangkah asiknya bila dia menemani dan juga menjaili Medeia.

“Ibu, aku ke Meddie dulu,” Pamitnya. Ibunya yang sedang sibuk membuat pai apel pun hanya menoleh singkat dan menjawab “Iya”

 

Medeleine pun mengetuk pintu tetapi Medeia tidak menjawab, kalau begitu dia langsung masuk saja. Setelah melepaskan sendalnya di rak dekat pintu Medeleine naik ke atas, kamar Medeia. Tetapi, dari luar terdengar suara Medeia dan suara lain, yang dia duga suara laki-laki. Tanpa babibu Medeleine membuka, dan terlihat di sana Medeia yang sedang duduk di mejanya dan Isaac yang berdiri melipat kedua tangan di depan dada.

 

“H-Hai?” Medeleine tersenyum canggung, baru kali ini melihat Meddeia membawa laki-laki ke dalam kamarnya. Biasanya dia tidak suka bila ada yang masuk tanpa ijin apalagi itu laki-laki, tentu saja kecuali Medeleine.

 “Medeleine? Ada apa?” Wajah Medeia yang tadi kesal berubah tersenyum. ‘Bagaimana dia bisa merubah wajahnya secepat itu’, batin Medeleine.

 “A-Aku bosan di rumah, ibuku sedang membuat pie apel apakah kau mau?” Bohong dan…. Jujur.

 “Tentu saja, omong-omong ini Isaac.”

  Medeia memperkenalkan Isaac. Raut wajah Medeia memperlihatkan sedikit keraguan. Medeleine menyodorkan tangannya bermaksud untuk berjabat tangan.

 “Pacar Medeia,” Senyum nya sambil membalas jabatan tangan Medeleine itu.

 “Omong-omong, Isaac kalau kau ingin pie apel kau boleh mencicipinya bila kau mau.”

“A-Ah aku harus pergi, sudah jam segini. Makasih tawaran nya ya.”

 Isaac melambaikan tangan nya sambil mengambil jaket hitamnya lalu pergi.

 

 Malam harinya, setelah hari ke-2 yang memelahkan Medeleine memutuskan untuk tidur. Entah kenapa dia bermimpi, Medeleine dikelilingi oleh pohon hijau belakang rumah Medei, di sampingnya duduk Medeia sambil tersenyum.

 “Medeleine,” Samar-samar dia mendengar suara Medeia.

 “Diary. Jangan kau berikan siapa-siapa ya?” Medeia senyum lebar. Lalu entah kenapa di sana mulai tercetak warna ungu dilehernya serta baju yang Medeia gunakan mulai berbekas tusukan dan darah.

 “Baca, Medeleine,” Wajah Medeia berhadapan dengan Medeleine, dengan mata dan bibirnya yang meneteskan darah.

 

Saat itu juga Medeleine terbangun dengan keringat di sekujur tubuhnya, bahkan baju dan seprai berwarna biru muda nya basah. Medeleiene terengah-engah, berusaha mengambil napas panjang sejenak sambil mengumpulkan nyawanya yang mungkin bisa dikatakan sedang melayang. Setelahnya Medeleine mengembuskan napasnya dan berpikir tentang perkataan Medeia yag berada di mimpinya. Baca? Dia harus membaca diary Medeia? Tapi dia merasa tidak berhak membuka diary itu karena menurutnya hal itu adalah bentuk sebuah privasi. Tapi, pada akhirnya dia memutuskan mengambil diary Medeia yang dia simpan di lemari, yang tertutup pakaian-pakaian Medeleine yang digantung. Medeleine pun akhirnya mengambil dan duduk di atas kasurnya, sembari membolak-balikkan diary itu.

 

            Medeia selalu menjadi orang yang sederhana, dan itu ciri khasnya saat dia membeli suatu barang, contohnya diary ini. Diary dengan sampul hitam dan desain sederhana, sangat mencerminkan Medeia. Medeleine membuka perlahan diary itu, dibalik-baliknya halaman di buku itu tanpa membaca dia berhenti saat menemukan halaman yang Medeia batasi dengan foto polaroid mereka saat mereka sedang berbelanja untuk pertama kalinya dan mereka ingin mendokumentasi memori itu. Medeleine hanya tersenyum, mengingat masa kanak-kanak mereka. Dia tahu dia sebenarnya tidak bisa melupakan memori-memori itu, tetapi sudah seharusnya dia yang masih hidup dan harus menjalani kerasnya dunia ini sedikit demi sedikit berdamai dengan masa lalu. Memang tidak mudah, tapi pasti itu juga yang diinginkan Medeia bila dia bisa melihat Medeleine sekarang.

           

Medeleine membaca halaman pertama dalam buku itu, tertulis tanggal dan waktu penulisan nya yang ditulis dengan tulisan rapi Medeia.

 

11/4/2017 22.50

 

Sejauh yang ku tahu, saat mayat itu hanyut di sungai urusan ku dan Isaac selesai. Itu yang dia katakan sebelum membuang mayat Jaeden, sembari memohon, sujud dengan tangan nya yang bersimbah darah. Gaun putih yang ku kenakan malam itu terkena bercak darah pula, entah dari dirinya atau Jaeden yang dia bunuh dengan bengis. Dengan tetesan air mata yang terlihat indah di bawah rembulan tersebut membuat ku luluh untuk menenangkan dia dan menyetujui permohonan nya itu. Saat dia memohon, duduk didepan ranjangku sembari memegang kedua kakiku dengan tangisan yang tidak henti-hentinya.

 

Isaac yang malang, saat ku usap air matanya dari pipi merah merekahnya itu, dia menatap wajahku dengan memohon. baru kali ini aku melihat wajah seorang laki-laki paling popular itu terlihat putus asa, bahkan badan nya pun juga ikut bergetar ketakutan. Seandainya dia tidak datang dengan baju putih yang dipenuhi dengan bercak darah itu, kukira dia yang hampir mati. Menyesal seribu menyesal, luluh hanya dengan wajahnya yang tampan. Seputus asa kah diriku ini hingga permohonan yang bisa membawa ku ke jeruji besi ku kabul kan begitu saja, padahal tidak ada imbalan apapun. Kalau bukan bodoh lalu itu namanya apa? Sebuah ketulusan belas kasih? kita hidup dijaman apa belas kasih adalah hal yang diberikan dengan cuma cuma.

 

Tapi sebagai teman yang baik, aku mengiyakan permintaannya itu. Permintaan yang beresiko tinggi. Aku masih mengingat bagaimana dia memohon,

 

“Tolong temani aku, sebentar saja. Aku mohon”

Ya begitulah permintaan nya, iyakan permintaan nya lalu sikap nya berubah saat itu juga. Tepatnya saat aku ingin mengganti pakaian ku karena gaun yang ku kenakan tidak praktis untuk digunakan bepergian, apalagi melenyapkan mayat. Lagi pula gaun itu juga masih ada bekas bercak darah, apa tidak akan menimbulkan pertanyaan bila seseorang melihat?  Isaac hanya menghela napas dan menunggu ku dimobil ayahnya itu. Benar-benar, aaat aku memasuki mobil chevrolet milik ayahnya itu bau anyir dimana-mana. Dia ini tahu tidak sih cara menghilangkan bau ini akan susah, kalau seperti ini sih tidak akan bisa terkubur segampang itu. Bodohnya, batinku. Aku masih bisa mengingat mayat Jaeden berada di kursi penumpang, dibalut dengan plastik sampah dan plester abu abu.

 

Aku hanya bergidik ngeri saat melihat mayat itu dibelakang bagasi belum terbungkus. Dia tanpa babibu mengeluarkan mayat tersebut setelah kami sampai di sebuah danau, dia meletakkan nya di rumput gersang, melucuti dan membakar baju Jaeeden yang bersimbah darah dan membungkusnya dengan plastik. Entah kenapa aku seperti melihat sebuah film psikopat, bagaimana tidak Mayat Jaeden dipenuhi dengan memar ungu di sekitar lehernya dan beberapa tusukan di sekujur tubuhnya. Aku benar-benar bergidik ngeri.

 

Kau tahu, setelah kami menghanyutkan mayat itu, besok harinya dia bersikap seperti tidak ada apapun yang terjadi semalam. Dulu saat aku belum tahu sikap aslinya aku selalu mengaguminya sambil tersipu malu setiap kali mata kami bertemu tetapi sekarang, rasanya aku mau muntah hanya mengingat-ingat dia membalut mayat itu dengan senyumnya itu. Tetapi setelah kejadian itu dia sering meneleponku, memberiku pesan, dan lain sebagainya. Tetapi dia tidak pernah menyapaku disekolah, atau berbincang. Tapi aku tidak bodoh, dia mengawasi ku secara jauh. takut bila bila aku akan mengatakan perihal menghanyutkan mayat Jaeden kepada Medeleine karena dia tahu seberapa dekatnya kami.

           

Dan kebetulan mayat nya ditemukan tiga minggu kemudian, mayatnya mengambang di atas permukaan danau yang mana sialnya ditemukan tepat saat seorang anak kecil hampir tenggelam didanau itu. Hari itu juga Isaac datang kerumah pada saat waktu makan malam, orang tua ku ada dirumah saat itu. Untung saja mereka mengiyakan ku untuk pergi bersama Isaac, dengan wajah bahagia mereka mengijinkan ku. Karena jarang melihatku pergi dengan anak laki-laki,  mereka sedikit terlalu bersemangat mengijinkan ku.

 

Saat itu Isaac menyetir dengan kecepatan tidak terlalu kencang, walau begitu aku bisa merasakan rasa panik dan bingungnya. Di mobil dia bercerita bahwa dia takut di tangkap karena kebetulan mayat itu sudah ditemukan, dia masih punya masa depan dan lain sebagainya. Dia pikir aku juga tidak mau menggapai masa depanku? Lagi pula kalau dia tahu hal itu bisa membahayakan dirinya dan masa depan nya lalu kenapa dia melakukan hal tersebut. Otaknya saja yang pintar, tetapi aslinya menggelikan. Didalam mobil aku hanya berusaha menenangkan nya agar dia tidak khawatir. Tidak lama kita bercakap, dia akhirnya memulangkanku, sambil meminta maaf bila dia mengajak nya pergi secara mendadak.

Omong-omong aku mau tidur dulu, bye bye!

  

 Medeleine tidak bisa berkata-kata setelah membaca tulisan Medeia. Medeia benar-benar terlibat dalam pembuangan mayat Jaeden, walaupun itu pembuangan dia tetap bersalah untuk menyutujui permintaan Isaac. Dan benar saja perasaan tidak enaknya itu karena pembunuh Jaeden adalah Isaac. Pacar Medeia sendiri. Medeleine sebenarnya ingin sekali menutup buku itu tetapi dia memberanikan diri untuk membaca halaman selanjutnya.

  

17/5/2017 17.47

 

Halo, hari ini bukan hari yang baik bagiku. Medeleine menemukan ku dan Isaac dikamar. Saat itu kami sedang beradu argumen tentang masalah saksi mata. Ada seseorang yang melihat kita saat itu, sedang membuang mayat itu didanau. Tapi hal itu terhenti saat Medeleine masuk kedalam kamar dan memergoki kami. Aku lupa bahwa Medeleine terbiasa memasuk kekamar ku tanpa mengetuk, ini semua kesalahnku…

Medeleine hanya menawarkan pie apel buatan ibunya, yang kebetulan pie apel buatan ibunya adalah kesukaan ku, tentu saja dia menawarkan pie itu. Medeleine ku perkenalkan kepada Isaac yang entah kenapa Isaac memperkenalkan diri sebagai pacarku, tentu saja aku tidak sudi. Dia pun akhirnya pamit pulang, dan aku memakan pie apel dirumah Medeleine. Belum ada sekitar lima menit dia mengirimkan pesan yang berisi.

           

“Kita akan lanjutkan percakapan ini nanti”

 

Hari itu aku makan pie apel itu dengan perasaan tidak tenang. Sialan kau Isaac.

 

 Pertama dia Medeleine terkejut bahwa Isaac pembunuh dan Medeia terlibat pembunuhan itu. Sekarang dia dikejutkan dengan Isaac hanya pura-pura saja mengatakan bahwa dia

‘Dia bukan pacar Medeia? Sebenarnya apa ini?’ Batin Medeleine. Hari itu dia tidak bisa melanjutkan membaca diary Medeia dan memutuskan untuk tidur walau takut dengan bayang-bayang akan mayat Jaeden yang Medeia jelaskan secara detail di dalam buku itu.

 

Tapi esok harinya dia datang dengan muka lesu, karena dia hanya tertidur sekitar dua jam dan setelahnya dia terbangun dan mengalihkan pikirannya dengan menonton film di ponselnya hingga waktu nya dia bersiap-siap kesekolah datang. Sesampainya disekolah pun Medeleine tertidur sebentar hingga dia akhirnya dibangunkan oleh Agatha dan akhirnya guru masuk dan memulai pelajaran pertama hari itu. Tetapi pelajaran pada jam selanjutnya kosong, karena banyak guru yang tidak masuk karena adanya keperluan. Yang membuat Medeleine tertidur hingga waktu jam makan siang.

 

Saat jam makan siang dia memutuskan untuk tidak ikut kekantin karena kebetulan hari ini Agatha dan Diana tidak membawa bekal. Jadi mereka memutuskan untuk kekantin sedangkan Medeleine berada dikelas, mendengarkan lagu sambil memakan bekal buatan ibunya. Medeleine berpikir tentang buku diary Medeia, karena dia tahu bahwa dia akan ketakutan bila dia membaca dirumah dan kejadian kemarin malam akan kembali lagi. Dia harus tertidur karena minggu ini masih panjang. Dia pun akhirnya membaca buku diary Medeia sambil memakan bekalnya. Berharap dia merasa tidak mual.

 

 

22/5/2017 15.51

Hai…

Entah kenapa hari ini Isaac terlihat tertekan, saat aku tidak sengaja berpapasan dengan nya di kantin. Dia menatap ku dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Dia juga tidak mengirim pesan  kepadaku sama sekali hari ini. Aku tidak tahu maksud dari tatapan itu apa tapi rasanya dia seolah-olah sedang mencurigai sesuatu. Aku tidak tahu itu apa tapi rasanya membuat ku khawatir. Baiklah aku akan tidur lebih awal hari ini, akhir-akhir ini semuanya melelahkan daripada biasanya.

  

Tidak ada yang terlalu aneh, tetapi terlihat dari tulisan ini Isaac seperti merencanakan sesuatu. Medeleine pun melanjutkan membaca diary itu.

 

27/5/2017 17.10

Aku sudah tidak kuat lagi dengan Isaac, semakin hari dia semakin menyebalkan. Aku ingin membicarakan perihal tentang polisi yang datang kerumah ku pada dini hari itu tetapi saat aku ingin berbicara dengan nya dia terus-terusan menghindar. Ini bukan masalah pada awalnya tapi kenapa aku yang harus kena imbasnya. Maksudku aku hanya menemaninya disana tanpa berbuat apapun, aku hanya melihat Isaac membungkus mayat itu, membakar pakaian nya, dan menghanyutkan mayat tersebut.

 

Aku ingin sekali berteriak di wajahnya bahwa hal ini bukan masalahku, aku berusaha melindungi dia tapi dia tidak ada kerja samanya. Mau tak mau kalau dia terus-terusan menghindar aku tak mau harus mengatakan yang sebenarnya. Aku sudah muak dengan permainan Isaac yang menyangkut hidup dan matiku. Kalau dia terus seperti ini aku mau tak mau harus melaporkan nya.

  

Medeleine mengingat-ingat kembali kapa nada polisi datang kerumah Medeia. Tapi seingat nya memang ada mobil polisi tapi tidak terparkir dihalaman rumah Medeia melainkan dua rumah sebelum rumah Medeia. ‘Apa mungkin polisi itu yang datang kerumah Medeia?’ Sebelum dia sempat membaca isi diary itu. Seseorang duduk didepan Medeleine.

 “Hai,” Senyum Isaac merekah. ‘Sialan’ batin Medeleine. Mau tak mau dia harus pasang wajah tak ketakutan saat melihat Isaac. Setelah membaca diary Medeia, dia sudah tahu siapa yang membunuh Jaeden dan bisa jadi sahabatnya, Medeia.

 “Apa yang sedang kau lakukan, Medeleine?” Baru kali ini dia bergidik ngeri melihat seseorang senyum. Isaac memerhatikan apa yang dipegang Medeleine, dengan cepat dia menutupnya.

 “Hanya membaca buku.”

“Tanpa judul?” ‘Sial,’ batin Medeleine. Dia tidak pandai berbohong, bagaimana agar Isaac tidak tahu buku apa yang dia baca.

 “Aku membaca tulisan ku sendiri, kau tahulah mencoba-coba menulis ide yang ada didalam kepalaku,” Isaac mengangguk.

 “Baiklah, sampai jumpa Medeleine.”

                                                                                                  

            Malam harinya, saat selesai kelas tambahan untuk persiapan ujian mereka untuk masuk ke universitas yang diinginkan, Medeleine berjalan keluar kelas sambil menguap dan meregangkan badan nya yang sedari tadi kaku karena duduk terlalu lama.

 

            “Medeleine, kita pulang dulu ya,” Pamit Diana dan Agatha. Medeleine hanya mengangguk dan melambaikan tangan nya. Dia pun berjalan menuju gerbang sekolah dan berjalan menuju halte untuk menunggu bus arah ke rumahnya datang. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan Medeleine duduk. Orang yang menyetir mobil itu menurun kan kacanya, yang lain dan tidak bukan Isaac lagi.

             “Ada apa?”

            “Apakah kau menunggu bus?”

            “Ya, kenapa memangnya?”

            “Bus terakhir yang menuju ke arah rumah mu sudah melintas beberapa menit yang lalu. Lebih baik kau menumpang dimobilku terlebih dahulu.” Medeleine berpikir sejenak, dia takut bila-bila terjadi sesuatu kepadanya tapi dia juga butuh tumpangan untuk pulang.

 

            “Baiklah,” Medeleine pun memasuki mobil Isaac. Diperjalanan mereka tidak mengobrol apapun. Suasananya hening dan yang terdengar hanya suara radio. Beberapa menit kemudian, Isaac berhenti dipinggir jalan secara mendadak. Medeleine sedikit takut karena jalan itu terkenal sepi sekali. Bahkan jarang orang berlalu lalang.

             “Aku pergi keluar sebentar untuk mengecek mesin, dulu ya.” Medeleiane mengangguk. Isaac pun keluar dari mobil untuk mengecek mesin mobil. Sudah beberapa lama dia tidak kunjung balik.

             “Sebenarnya apa yang dia lakukan sih?” Medeleiane pun keluar dari mobil Isaac bermaksud untuk ikut mengecek, dia sudah terlalu lama mengecek mesin mobil yang biasanya hanya menghabiskan waktu tiga hingga lima menit.

             “Isaac, kenapa lama sekali-“ Medeleine tidak menemukan tanda-tanda Isaac. Cap mobil itu terbuka lebar tetapi tidak ada tanda-tanda Isaac disana.

             “Dimana sih dia Awww-“ Tiba-tiba dia merasakan ada yang tertancap di perutnya, dan darah keluar dari mulutnya. Medeleiane pun seketika jatuh ke aspal jalanan itu, mulutnya tak berhenti mengeluarkan darah.

 “Aku sudah tahu bahwa Medeia menitipkan diary itu kepadamu, sebelum aku sempat membakar buku itu. Kau tahu Medeleiane, Medeia ingin menghancurkan hidupku dengan mengirimkan tulisan diary nya ini kepolisi. Dia ingin menghancurkan hidupku.”

 “Tapi kau memang pantas untuk mendapatkan nya,” Medeleiane menatap Isaac sinis, “Padahal Medeia tidak akan melaporkan mu kalau saja kau mau diajak bekerja sama!”

 Isaac memasang muka mengejek, “Ya ya ya ya dan ya, kau berisik sekali sih. Memang nya ada jaminan dia tidak akan melaporkan ku?” Medeleiane terdiam yang membuat Isaac terkekeh.

 “Sudah kuduga kau tidak bisa menjawab, Barang bukti dimusnahkan, begitu pun juga dengan kamu, Medeleian!” Tawa Isaac.

 Sebenarnya mengecek mesin mobil adalah alibi Isaac karena dia ingin menusuk Medeleian dari belakang dan melaksanakan rencana pemusnahan nya itu. Dan ternyata hal itu berhasil mengecoh Medeleiane.

 “Kalau kau sudah membaca buku diary Medeia, seharusnya kau tahu bahwa kau tidak boleh memercayai pembunuh, Medeleiane,” Lanjutnya.

 “Medeleiane yang manis dan cantik, aku akan mengakhiri penderitaan mu sekarang,” Senyum Isaac adalah hal terakhir yang dia ingat sebelum penglihatan Medeleiane menggelap.

   

“Breaking news, ditemukan nya mayat dari seorang siswa Bernama Isaac Black yang ditemukan dengan luka sayatan dikamar tidurnya. Isaac sendiri diduga sudah membunuh tiga murid dari sekolah yang sama dengannya. Alasan dia bunuh diri diduga karena dia dihantui rasa bersalah setelah membunuh ketiga temannya. Dimana dia tuliskan disurat bahwa dia merasa dihantui oleh korban-korbannya sejak dua bulan yang lalu sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri. Baik itu saja sekilas berita ini. Sampai jumpa”

Previous
Previous

VOICES

Next
Next

Antologi Cerpen