Wisata Masa Lalu

by: Allana Layla Caramia Badib Zaelani (XI IPS 1)


Hari ini hari pertama mereka masuk sekolah setelah libur panjang, Erick dengan suasana hatinya yang bagus memulai paginya dengan semangat. Mulai dari bangun terlalu pagi, dan untuk pertama kalinya ia membersih-kan kamarnya yang berantakan seolah baru saja terkena badai. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tidak biasanya Erick sudah berada di sekolah.

Bahkan teman-teman satu kelasnya dulu terheran-heran melihat Erick sudah berada di sekolah, “Wuih, abis dapet apa nih? Tumben dateng pagi,” Erick menengok, ia dengan bangganya menjawab, “Harus lah, yakali gue telat. Gabisa liat dede dede gemes dong,” mendengar jawaban Erick yang menggelikan seperti itu, Aron memasang wajah jijiknya lalu menjitak kepala Erick sedikit keras, “Najis,” makinya yang mendapat gelakan tawa dari Erick.

“Eh, ngomong-ngomong mpls tinggal berapa hari lagi?” tanya Erick tiba-tiba, Aron hanya menjawab dengan gidikan bahu. Ia saja bukan bagian dari OSIS, bagaimana ia bisa tahu. “Tau dah, tanya aja sama anak osis.”

Erick mengerutkan alisnya, ia mengedarkan padangannya mencari seseorang yang sekiranya tahu. Lalu maniknya tak sengaja melihat Lyn yang baru saja datang dan sedang mengobrol dengan temannya dan sebentar lagi mereka akan berpapasan. Erick tersenyum lebar lalu menarik lengan Lyn sedikit kasar. Karena terlalu tiba-tiba, Lyn spontan memukul wajahnya.

BUGH!

Melihat itu, Aron dan Ele, teman Lyn yang juga bersamanya tertawa terbahak-bahak. “Wah, gila! Makan apa lo punya tenaga gede bener,” ucap Erick yang masih shock dengan tenaga yang Lyn miliki sembari me-nyentuh rahangnya yang terasa nyeri. “Ya, lo! tiba-tiba narik, gue kan kaget!” jawab Lyn yang terdengar sangat kesal. “Lagian kenapa si?”

Erick tersenyum lebar sampai menunjukkan deretan giginya yang rapih, “Ini mpls hari ke berapa?” tanyanya dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya. Lyn mengerutkan alisnya kesal, sungguh? Menarik tangan-nya hanya untuk menanyakan hal tidak penting seperti itu?

“Tau dah.”

“Dih, lo kan anak osis.”

Lyn menepis tangan Erick yang masih mencengkram lengannya, “Lo ngitung ga ini hari ke berapa lo gangguin gue?” pertanyaan dari Lyn tersebut membuat Erick kebingungan, untuk apa dia menghitung itu semua?

“Dih? Buat apa juga gue itung.”

“Nah itu, gue juga males kali ngitung ini hari keberapa.”

Erick mencibir, “Siapa tau lo ngitung,” saat Lyn ingin menjawab ucapan Erick, terdengar suara gaduh dari tengah lapangan. Mereka semua yang mendengar suara gaduh tersebut pun berlari menghampiri. Ternyata dua murid tahun baru sedang beradu mulut. Lyn sebagai anak osis pun berjalan menghampiri mereka berdua berniat untuk melerai.

Erick memperhatikan kedua adik kelasnya tersebut dengan berkacak pinggang, “ckckck, baru masuk aja udah gelud,” ucapnya sembari menggeleng pelan. Aron dan Ele yang mendengar itu sontak menatap Erick aneh, “Apaan sih liat-liat?”

“Lo gapernah ngaca ya?”

“Setiap hari, ganteng banget gue gila.”

“Dih najis, lo sama Lyn awal-awal masuk sekolah juga begitu kali.”

“Emang ya?”

“Terserah lo aje dah.”

Setelah mengatakan itu, Aron lebih memilih untuk mencari kelasnya yang baru daripada harus berdebat dengan orang yang batu seperti Erick. “Eh, gue ikut!” saut Ele sembari berlari kecil menyusul Aron, menyisakan Erick sendiri yang sedang bergulat dengan ingatannya.

Ternyata jika di ingat-ingat lagi, mereka berdua saat masuk tahun ajaran baru sering sekali beradu mulut, minimal satu kali sehari, kalau lebih mungkin ada empat sampai enam kali. Ditambah lagi Lyn anak yang mudah terpancing emosi, sedangkan Erick anak yang sangat tengil. Bukankah itu kombinasi yang sangat sempurna?

Semakin di ingat, semakin banyak saja kejadian memalukan yang mereka alami. Ia bahkan tidak sadar jika sedang tersenyum saat mengingat kejadian tersebut, teman-temannya yang melihat itu hanya menatapnya dengan tatapan aneh.

Saat itu keadaan kelas memang sangat ramai karena para guru sedang rapat, Lyn yang saat itu masih memegang teguh kedisiplinan pun menegur teman-temannya, namun tak ada yang mendengarkan nya sama sekali. Baiklah, ia lebih memilih membiakannya mereka passti akan diam dengan sendirinya.

Namun sudah 10 menit berlalu, mereka tak kunjung diam. Lyn yang sudah sangat kesal pun memukul mejanya dengan kuat dan seketika kelas menjadi hening, tak ada yang berbicara karena terkejut. Lyn menatap satu-satu temannya tersebut dengan nyalang, “Kalau gue denger lo semua ribut lagi, gue bakalan minta ke bu Sinta buat ngasih tugas,” ancamnya dengan suara yang pelan, walaupun begitu mereka terlihat ketakutan dan memilih untuk menuruti perkataan Lyn.

Ia bukannya keberatan jika teman-temannya berbicara, hanya saja yang membuatnya merasa sangat kesal adalah anak yang berbicara dengan temannya dengan cara berteriak, padahal jarak mereka berdua hanya sebatas depan belakang. Itu benar-benar mengganggu, membuat telinga nya sakit.

“Galak amat neng,” mereka semua sontak menatap anak lelaki yang baru saja membuka suara tersebut, rambut yang acak-acakan, seragamnya yang sudah tidak rapi padahal sekolah baru beberapa jam yang lalu di mulai, tampilan seperti preman yang suka mengambil permen anak kecil. Ya, itu adalah Erick di dalam penglihatan Lyn. Itu adalah kesan pertama Erick di mata Lyn. Benar-benar jelek.

Lyn hanya meliriknya lalu kembali membaca novelnya, tidak ada sedikit niat pun untuk membalas ucapan Erick. Kelas kembali ramai, namun tidak seramai tadi. Lyn pun tidak merasa terganggu, ia bahkan ikut mengobrol dengan teman-temannya.

“Linda, gue izin ke toilet ya,” pamitnya pada ketua kelasnya sembari berdiri, ia tersenyun lalu keluar menuju toilet yang berada di ujung koridor. Selang beberapa detik, Erick pun ikut meminta izin untuk pergi ke toilet. Tepat saat Erick ingin masuk ke toilet pria, Lyn keluar dari toilet wanita.

Lyn tak memperdulikannya dan memilih untuk segera kembali menuju kelas, “Kiw, cewe, sombong amat kaga nyapa,” Lyn tetap tak memper-dulikan nya, menggelikan sekali suara Erick tadi. Sedangkan Erick sendiri terkekeh melihat respon Lyn, ia jadi geli sendiri dengan suaranya tadi.

Bel istirahat pun akhirnya berbunyi, semua murid berhamburan keluar dari kelas. Ada yang bermain sepak bola, ada yang tetap berada di kelas karena sudah membawa bekal, ada yang pergi ke kantin, dan masih banyak lagi. Lyn dan teman-temannya pergi menuju kantin untuk membeli beberapa camilan untuk dimakan di dalam kelas.

“Yahh antrian nya panjang banget gila,” keluh Anne saat melihat antrian yang panjangnya bukan main, “Yaudah gue aja yang beliin, pesen apaan?” ucap Lyn menawarkan dirinya mengantri panjang hanya untuk camilan. Setelah mencatat pesanan teman-temannya, ia berjalan sedikit cepat menuju antrian tersebut.

Setelah 4 menit menunggu, akhirnya sebentar lagi giliran ia yang membayar makanannya. Namun tiba-tiba saja antriannya baru saja di serobot oleh anak laki-laki tinggi, Lyn yang kesal pun menepuk bahu anak tersebut. Saat menoleh, ternyata itu Erick yang memang sengaja menyerobot antrian dengan dalih temannya menempati antriannya agar tidak diserobot.

“Apaan nepuk-nepuk,” tanyanya yang masih tidak sadar letak kesalahan nya, “Pindah belakang, lo harus ngantri,” jawab Lyn penuh dengan pene-kanan disetiap katanya. Eric tak memperdulikannya dan memilih menghadap ke depan kembali. Lyn pun kembali menepuk bahunya, namun kali ini lebih keras.

“Apaan sih?”

“Apa apa, pindah belakang. Ngantri!”

“Dih ogah, orang gue udah booking ni tempat.”

Mendengar balasan Erick yang seperti itu, Lyn mulai emosi. Kali ini tanpa aba-aba, Lyn menendang kaki Erick kuat kuat sampai ia kesakitan. “Aduh, apa-apaan si lo? Ngajak ribut?” Lyn yang memang tidak takut dengan ancaman murahan tersebut menantangnya balik, “Ayo, siapa takut!” balas nya sembari melekuk lengan seragam nya dan mengepalkan tangannya bersiap memukul wajah Erick.

“Maju sini lo,” balas Erick yang sudah memasang kuda-kudanya, kedua anak tersebut menjadi pusat perhatian karena kegaduhan tersebut. Sedangkan teman-teman Lyn segera datang dan melerai nya. Benar-benar memalukan, teman-teman Erick yang melihat itu hanya diam saja karena mereka tahu ia tidak akan mengajak Lyn bertengkar, karena dia sendiri payah dalam beladiri.

Semenjak kejadian itu, keduanya selalu beradu mulut di manapun dan kapanpun. Setidaknya satu kali sehari mereka akan beradu mulut lalu kembali berteman seperti biasa.

Pernah saat itu Lyn ditunjuk untuk mengikuti olimpiade matematika mewakilkan sekolah, Lyn yang saat itu kebetulan saja bisa menjawab soal di papan tulis panik mendengarnya, masalahnya setelah bergaul dengan Erick, ia menjadi bodoh hanya dalam kurun waktu 2 minggu. Ia saja selama ini saat mengerjakan tugas matematika selalu menyontek pekerjaan temannya yang diberi oleh Erick. Benar-benar pengaruh buruk yang menyeramkan.

“Aelah gausah terlalu dipikirin kali Lyn.”

“Mulut lo pengen banget gue jejelin cabe Ron.”

“Gapapa kali Lyn, cap cip cup paling dapet 45.”

“Kalo kata gue si, mending lo kayang aja.”

“Diem gak lo bertiga! Duh, pening kepala gue, butuh duit.”

Lyn memijat pelan pelipisnya sembari meringis, benar-benar teman yang tidak berguna, bisa-bisanya ia berteman dengan mereka bertiga sampai saat ini. “Yaelah, santai aja kali Lyn,” ucap Erick sembari berdiri, ia berjalan mendekati Lyn dan menggenggam pergelangan tangannya, “Mau apa lo?” tanya Lyn dengan alisnya yang terangkat sebelah, dan suara nya terdengar tidak bersahabat.

“Sini gue ajarin ngitung.”

“Gegayaan ngajarin ngitung, dua kali nol aja lo masih pake kalkulator.”

Hinaan Lyn tersebut mendapat gelakan tawa dari Aron dan Ele, sedang-kan Erick hanya menjawabnya dengan mencibir. Memang ya, kalau wanita sudah marah, semua hinaan yang keji akan keluar dari mulutnya. “Nih, nih, gue ajarin ngitung. Lima dikurangi tiga berapa?” Lyn menurunkan tiga jarinya, menyisakan ibu jari dan jari tengahnya saja, dan lagi-lagi berhasil membuat Aron dan Ele tertawa terbahak-bahak.

“Jahat amat si lo!”

“Ya lagian lo gajelas, minggir! Gue mau ke toilet.”

Setelah mengatakan itu, Lyn menepis tangannya dan berjalan keluar untuk pergi ke toilet, berniat untuk membasuh mukanya. Sungguh, berteman dengan mereka bertiga sungguh melelahkan.

Bel masuk berbunyi, Erick tersadar dari lamunannya karena suara bel yang keras tersebut, ia bisa melihat kedua adik kelasnya telah berdamai dengan bantuan Lyn dan teman osis nya. “Lah, lo ngapain masih di sini? Ele sama Aron mana?” tanya Lyn saat tak melihat kedua temannya tersebut, “Udah duluan ke kelas.”

“Lah terus ngapain lo masih disini?”

“Nungguin lo lah, pake nanya lagi lo. Cepetan, bel udah bunyi.” Erick merangkul bahu Lyn dan berjalan menuju kelas mereka.

Previous
Previous

Bertukar Posisi

Next
Next

VOICES