PENERAPAN STRATEGI MULTIPLE REPRESENTASI UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP PESERTA DIDIK PADA MATERI BENTUK MOLEKUL

By : Tri Januardha Finishianto, M.Pd

Pelajaran kimia masih diasumsikan sukar bagi kebanyakan peserta didik. Hal ini dikarenakan oleh sifat konsep kimia yaitu abstrak dan berjenjang. Guru harus memiliki strategi agar pembelajaran kimia mudah dipahami oleh siswa. Salah satunya adalah multiple representasi, yaitu penerapan representasi dengan bermacam strategi untuk menyajikan suatu gejala atau fenomena. Pembelajaran kimia lebih difokuskan pada hubungan tiga tingkat representasi, seperti: macroscopic, submicroscopic, dan symbolic (Johnstone, 2000). Representasi macroscopic didapatkan dari observasi real terhadap suatu peristiwa yang dapat diamati dan dirasakan oleh panca indra.

Representasi submikroskopik menjelaskan struktur dan proses pada level molekuler bahkan atomik. Representasi submicroscopic dinyatakan secara simbolis menggunakan kata-kata, gambar 2D dan 3D baik statis atau dinamis (animasi) atau simulasi. Dewasa ini dibuat menggunakan teknologi komputer. Representasi symbolic adalah representasi secara kualitatif dan kuantitatif, seperti rumus molekul, persamaan reaksi kimia, diagram, gambar dan perhitungan matematis. Sunyono (2014) melakukan pengembangan model pembelajaran dengan dasar multiple representasi untuk menghasilkan kepraktisan (kelayakan dan daya tarik) dan efektivitas yang tinggi dalam membangun dan meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa pada mata kuliah kimia dasar bab stoikiometri dan struktur atom, serta bentuk molekul.

Bentuk molekul juga diajarkan kepada siswa SMA kelas 10 di Bab Ikatan Kimia. Berdasarkan Kurikulum 2013, bentuk molekul disampaikan dengan Kompetensi Dasar: Menerapkan teori tolakan pasangan elektron kulit valensi (VSEPR) dan teori domain elektron dalam menentukan bentuk molekul. Berdasarkan penelitian awal diperoleh informasi bahwa Ikatan Kimia khususnya Bentuk Molekul merupakan salah satu topik yang dianggap sulit oleh siswa. Berdasarkan hasil observasi 120 siswa SMA Trimurti Surabaya dipilih secara acak untuk memberikan pendapatnya tentang materi sulit yang pernah dipelajari di kelas 10. Sebanyak 26% siswa menyatakan bahwa Ikatan Kimia khususnya topik Bentuk Molekul merupakan materi yang sulit, karena kesulitan dalam memahami mata pelajaran. Berdasarkan hasil belajar, banyak peserta didik dengan nilai di bawah KKM, sehingga harus menjalani program remedial. Pembelajaran kimia yang terjadi terbatas pada dua macam representasi, yaitu makroskopis dan simbolis (Tasker & Rebecca, 2006). Level berpikir submikroskopis diberikan terpisah. Siswa juga belajar lebih banyak tentang memecahkan masalah matematika tanpa pemahaman yang mendalam.

Subyek penelitian ini adalah dua puluh empat siswa kelas X SMA Trimurti Surabaya, pada tahun pelajaran 2020-2021. Data dikumpulkan dengan beberapa teknik seperti observasi, kuesioner, dan tes. Observasi bertujuan untuk mengumpulkan data penelitian tentang aktivitas siswa. Kuesioner digunakan untuk mengukur respon siswa terhadap proses pembelajaran. Tes digunakan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran terhadap meningkatkan penguasaan konsep siswa. Tes ini diberikan dalam dua tahap, yaitu pretest dan posttest untuk menentukan siswa sebelum dan sesudah proses pembelajaran. Perbedaan siswa pretest dan posttest dianalisis menggunakan skor N-gain. Data yang diperoleh dari penelitian ini meliputi aktivitas peserta didik, respon, dan hasil belajar peserta didik dianalisis secara deskriptif.

 

Aktivitas peserta didik

Sepanjang kegiatan belajar mengajar dilakukan observasi terhadap aktivitas peserta didik. Hasil pengamatan untuk setiap pertemuan dapat disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Persentase aktivitas siswa selama pembelajaran

Rata-rata persentase aktivitas siswa saat memperhatikan penjelasan yang disampaikan oleh guru dan mengamati media sebesar 9%. Jumlah rata-rata persentase aktivitas siswa saat menulis ide / soal, membaca buku teks, melakukan eksperimen, berdiskusi dan berkolaborasi, mempresentasikan hasil kerja kelompok, mengajukan pertanyaan / mengungkapkan pendapat, dan pembelajaran penutup adalah 91%. Selama proses pembelajaran, siswa tidak menunjukkan perilaku yang tidak relevan (0%).

Berdasarkan data aktivitas siswa juga dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran kimia yang dirancang oleh guru adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (SCL). Selama proses belajar siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri secara mandiri sehingga terbentuknya pengetahuan lebih berarti. Pembelajaran ini sesuai dengan teori konstruktivisme Vygotsky karena dalam kegiatan belajar siswa dihadapkan pada proses berpikir rekan-rekan yang memiliki kemampuan kognitif heterogen. Teori Piaget juga sangat mendukung pembelajaran kooperatif, teori ini memandang pentingnya belajar tim supaya tiap peserta didik memiliki rasa tanggung jawab dan saling ketergantungan positif karena setiap anggota memiliki peran dalam mencapai keberhasilan kelompok (Arend, 2008).

Respon siswa

Respon siswa diperoleh setelah guru menyelesaikan kegiatan pembelajaran selama tiga pertemuan, dengan menggunakan angket pembelajaran yang telah dilakukan. Hasil dari persentase tanggapan siswa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Respon Siswa terhadap Pembelajaran Kooperatif

Berdasarkan Gambar 2 dapat dikatakan bahwa penerapan multiple representasi mendapat tanggapan positif dari siswa. Hal ini ditunjukkan dengan persentase daya tarik bahan ajar, pengelolaan pembelajaran, metode mengajar guru, dan sebagainya. Siswa tertarik dengan model pembelajaran kooperatif berbasis multiple representasi  mendapat respon positif dengan nilai 92%. Siswa berpendapat bahwa proses pembelajaran tidak membatasi kreativitas mereka dalam belajar dan mereka merasa memiliki peran aktif bekerja dalam kelompok. Pendapat siswa didukung oleh pernyataan Hamalik (2008) tentang pembelajaran remaja, yaitu Pembelajaran akan diterima jika remaja memiliki keseimbangan antara kebebasan dan batasan, ketika suara mereka ada didengar secara berkelompok / kelas, saat mereka berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Gambar 3. Perbandingan nilai pre-test dan post-test

Rata-rata nilai pre-test siswa adalah 14,80 dan tidak ada siswa yang mencapai nilai standar (> 70). Setelah pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif berbasis representasi ganda, ternyata diperoleh rata-rata hasil post-test adalah 83,3 dan ketuntasan belajar kelas mencapai 83,33%. Perolehan skor hasil belajar tergolong tinggi dengan nilai rata-rata 0,78 atau 71% dari total skor. Nilai sensitivitas dari dua puluh item yang diuji adalah > 0,30. Artinya butir-butir yang diujikan memiliki sensitivitas yang baik terhadap proses belajar. Butir soal dengan nilai sensitivitas tertinggi sebesar 0,78 dan terendah sebesar 0,35.

Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi multiple representasi dalam pembelajaran kimia dapat meningkatkan penguasaan konsep peserta didik pada materi bentuk molekul.Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya. Herawati, dkk. (2013) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa dengan pembelajaran multiple representasi pada topik laju reaksi lebih tinggi dari pembelajaran konvensional. Sunyono (2014) mengatakan bahwa pengembangan model pembelajaran berbasis multiple representasi pada topik stoikiometri dan struktur atom, menghasilkan tingkat kepraktisan (kelayakan dan daya tarik) dan keefektifan yang tinggi dalam membangun model mental dan meningkatkan penguasaan konsep siswa.

Previous
Previous

BALADEWA - Belajar Gamelan dengan Wayang

Next
Next

VAR, Solusi yang Tidak Sempurna