VAR, Solusi yang Tidak Sempurna
By : Aditya Angga Mahendra, S.Pd
Seiring berkembangnya teknologi, berkembang pula penerapannya dalam sepakbola dan yang paling sering disorot adalah VAR (Video Assistant Referee). Awal mulanya, VAR diuji coba di liga Belanda pada tahun 2013. Setahun berikutnya, Asosiasi Sepakbola Belanda (KNVB) mengajukan kepada Dewan Asosiasi Sepakbola Internasional (IFAB) untuk menguji coba VAR secara lebih luas. IFAB setuju dan mulai uji coba secara intens pada tahun 2016. Kompetisi - kompetisi besar pun tak luput dari ujicoba VAR seperti Piala Konfederasi 2017 dan Piala Dunia 2018.
Pada akhirnya, VAR resmi jadi bagian dari pertandingan sepak bola pada tahun 2018. VAR berperan untuk meluruskan kesalahan wasit ataupun melihat insiden yang tidak terlihat oleh wasit dan hakim garis di dalam lapangan. Ada empat keputusan yang bisa ditinjau dari VAR, yaitu persoalan gol, keputusan penalti, pemberian kartu merah langsung, dan keputusan untuk memberikan kartu merah atau kartu kuning. Tim VAR ditempatkan di ruang operasi video. Secara otomatis, VAR memeriksa setiap keputusan wasit di lapangan. Jika VAR tidak mengindikasikan kesalahan, maka pertandingan tetap berlanjut tanpa pengecekan yg lebih jauh.
Namun, jika VAR mengindentifikasi bahwa ada kesalahan, maka pertandingan dihentikan sejenak dan akan ada tiga skenario: keputusan wasit dibatalkan atas saran VAR, meminta rekaman ulang insiden di lapangan, dan wasit mengabaikan saran VAR.
Sejak awal penerapannya dalam sepak bola, VAR menuai pro dan kontra. Mereka yang pro penggunaan VAR menganggap bahwa dengan adanya VAR, hasil pertandingan menjadi lebih fair. Mereka yang kontra penggunaan VAR menganggap bahwa sejak adanya VAR, sepakbola menjadi tidak lagi menarik dan natural. Penolakan terhadap VAR tidak hanya datang dari penggemar sepak bola namun juga dari pelaku sepak bola seperti wasit dan pemain professional.
Seperti yang dilansir dari desabola.com, pemain Liverpool James Milner menilai VAR merusak atmosfer sepak bola. Ada juga pelatih Manchester City Josep Guardiola yang menilai bahwa VAR memperlambat jalannya pertandingan karena wasit harus melihat rekaman video untuk memutuskan suatu kejadian, bahkan para pemimpin klub liga Inggris pada musim 2018/2019 menolak penggunaan VAR karena dinilai masih banyak kekurangan. Diantara nada-nada sumbang tentang penggunaan VAR dalam sepak bola, angin segar berhembus dari La Liga Spanyol yang menuai hasil positif dari penggunaan VAR, dikutip dari panditfootball.com bahwa pada musim 2018/2019, VAR berhasil mengoreksi 15 dari 30 gol selama setengah musim berjalan dan juga menurunkan kesalahan wasit dalam memberikan penalti sebanyak 19 kali. Lukas Brud, sekretaris IFAB, mengatakan bahwa butuh waktu 10 tahun untuk orang-orang memahami cara VAR bekerja.
Sepak bola dan kontroversinya adalah hiburan bagi para pecinta bola di seluruh dunia. Kontroversi lah yang memberi bumbu pada sejarahnya, bisa kita lihat bagaimana Diego Maradona dengan gol tangan tuhannya ataupun dianulirnya gol Frank Lampard di Piala Dunia 2010 dikenang hingga saat ini. Dengan adanya teknologi VAR, diharapkan sepakbola tidak kehilangan “bumbunya” dan pada saat yang bersamaan, VAR diharapkan bisa menjadi solusi untuk hasil pertandingan yang lebih adil.